Setelah membaca tulisan mengenai petromax di blog Mbak Brilian Sekartaji, saya menjadi mendapat ide untuk menuliskan tentang sejarah lampu petromax yang mungkin ada diantara teman ngeteh belum mengetahuinya. Dahulu, saya pernah mendongengkan cerita ini kepada adik saya.

Petromax, Lampu kerosin/ parafin/ spirtus bertekanan. (sumber gambar: wikipedia)
Kebanyakan orang yang berusia 20 tahun keatas sudah mengetahui bagaimana bentuk lampu petromax itu. Lampu ini sangat populer pada jaman listrik belum begitu merata dulu. Sayapun juga pernah mengalaminya, sewaktu hidup di desa, lampu petromax adalah pengganti utama penerangan saat listrik tiba-tiba padam atau tegangannya turun. Kaum muda yang ikut kegiatan ke-Pramuka-an, PMR, atau pecinta alam-pun pada umumnya juga mengetahui apa dan bagaimanakah lampu petromax itu. Namun bagaimanakah lampu itu disebut petromax?
Sebenarnya, Petromax adalah nama sebuah merek dagang (brand) dari sebuah lampu berbahan bakar minyak bertekanan. Bahan bakar tersebut bisa berupa kerosin, parafin, atau spirtus. Lampu ini ditemukan pertama kali oleh Bapak Max Graetz, yang mempunyai nama panggilan “Petrol-Max” pada masa kecilnya. Dari nama ini pula, kata “petromax” digunakan.
Untuk memahami cara kerjanya, tentu teman ngeteh pernah mendapati besi yang menyala merah saat dibakar. Begitupun dengan logam yang dibakar, akan mengeluarkan nyala membara. Namun bagaimana dengan bahan bukan logam? Kita dapat amati bersama bahwa arang, tanah liat (bakal batu-bata atau keramik), dan batu-pun akan menyala jika dibakar atau dikenai panas yang cukup untuk membuatnya dalam keadaan seperti itu. Ternyata, bahan keramik/batu bata inilah yang cukup murah untuk bisa diproduksi masal. Kemudian, Pak Gratez melakukan analisa. Untuk panas yang sama, batu bata yang besar (luas permukaannya besar) akan dapat memberi penerangan lebih daripada batu bata yang kecil (luas permukaannya kecil). Kemudian, untuk membakar 10 buah batu bata, tentu membutuhkan panas (energi kalor) yang lebih daripada untuk membakar 1 buah batu bata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin besar beratnya, makin membutuhkan bahan bakar. Oleh karena itu dibutuhkan permukaan seluas-luasnya untuk memberikan penerangan sebesar-besarnya, namun diperlukan berat sekecil-kecilnya agar hemat bahan bakar.
Pak Gratez sempat berpikir, gimana caranya itu, tidaklah mungkin memasang batu bata pada petromax. Maka dari itu, dilakukanlah percobaan dengan bahan-bahan seperti bahan bakar batu-bata, mirip bahan bakar keramik, untuk membuat kedua syarat tersebut (berat sedikit, permukaan luas) terpenuhi. Maka dihasilkanlah sebuah kaus yang berupa jaring-jaring keramik tertentu seperti yang kita lihat sekarang itu. Kaus tersebut adalah campuran dari oksida-oksida logam yang mirip sekali dengan kandungan tanah liat, namun dengan resep tertentu yang kemudian dipatenkan Pak Graetz. Sedikit detilnya, saat itu bahannya berupa campuran thorium oksida, magnesium oksida, dan cerium oksida.
Kembali pada yang telah kita ketahui bersama tadi, kaus ini jika diberi panas yang cukup akan membara dan memberi penerangan. Tentu saja, semakin besar panas yang diberikan, semakin terang pula kaus itu menyala. Bagaimana menyediakan panas yang sebegitu besar itu? Jika dibakar dengan cara biasa saja tentu saja tidak cukup, akan sama saja terangnya dengan lampu minyak bakar. Kemudian Pak Gratez menyadari bahwa bahan bakar yang diuapkan dapat menghasilkan panas yang lebih besar daripada bahan bakar dalam bentuk minyak apabila dibakar. Tapi bagaimana mendapatkan bahan bakar itu dalam bentuk uap? Apakah dipanaskan biasa? Salah-salah yang ada malah meledak teman-teman.

Kaus Petromax (sumber gambar: howstuffworks.com)
Kemudian Pak Graetz berpikir lagi, tangki ditaruh di bagian bawah, kemudian minyaknya dipanaskan di atas. Agar bisa membawa minyak ke atas. Pak Graetz kemudian menyedikan pipa sempit menuju ke atas. Harapannya, nantinya minyaknya dipanaskan sedikit-sedikit di atas agar menjadi uap sehingga tidak malah meledakkan persedian minyak. Lalu, agar minyak bisa mengalir ke atas, perlu didorong oleh sesuatu yang sifatnya terus menerus (kontinu). Cara yang paling efektif adalah dengan memberi tekanan pada tanki tersebut, sehingga minyak bisa terdorong keluar melalui pipa. Prinsip ini mudahnya bisa dilihat dari penjual-penjual mie goreng keliling yang memakai kompor minyak tanah berpompa. Cara kerja pompa ini mirip seperti itu, tujuannya untuk mengalirkan minyak ke atas, kemudian dibakar. Itulah mengapa, kakek sering sesekali memompa petromax karena makin lama, tekanan di dalam tanki akan berkurang karena dipakai meniup bahan bakar ke atas.
Apa yang terjadi setelah bahan bakar sudah mengalir ke atas? Kembali ke tujuan semula, bahan bakar tersebut dipanaskan agar menjadi uap, sehingga apabila dibakar bisa menghasilkan panas yang besar untuk memanaskan kaos petromax sehingga menyala terang. Sebentar, adik saya saat itu bertanya, “Bagaimanakah memanaskan minyak itu?” Kemudian saya bertanya balik, “pernahkah melihat kakek menuangkan spirtus di bagian atas petromax? Yang kemudian setelah itu bagian atas petromax terdapat api? yang kemudian setelah itu kakek memompa tangkinya?” Dia hanya mengangguk, lalu saya menerangkan.
Itu adalah cara untuk memberi panas mula-mula supaya ujung pipa tadi panas dan minyak menguap begitu keluar pipa. Setelah panas cukup dan tekanan di tanki cukup besar, bahan bakar disemprotkan dengan membuka katup petromax. Begitu minyak keluar pipa di atas, seketika itu berubah menjadi uap, dan uap itu akan terbakar dengan tersemprotkan ke kaus tadi. Kaus tadi akan mendapat panas cukup besar, lebih besar daripada dibakar biasa sehingga menyala sangat terang. Ujung pipa tadi sudah tidak memerlukan panas siprtus untuk menguapkan minyak, karena panas tadi sudah didapat dari siklus panas yang dihembuskan ke kaus. Proses ini berjalan terus selama tanki masih ada tekanan dan minyak serta kaus tidak rusak. Kita mesti hati-hati, setelah kaus terbakar, kaus tersebut menjadi beracun.
Demikian yang hendak saya ceritakan pada teman ngeteh sekalian, mungkin ada yang sudah mengetahui, Pak Graetz mendirikan perusahaan bernama Ehrich & Graetz di Berlin yang kemudian berkembang menjadi “Graetz KG” (Graetz, Limited ) untuk memproduksi merek petromax ini yang berjaya di abad lalu. Kemudian, karena tidak mempunyai penerus, beliau menjualnya ke SEL (Standard- Elektronik-Lorenz AG), yang kemudian, SEL menjualnya ke Nokia yang kemudian menghentikan produksinya pada tahun 1970. Kini lampu minyak bertekanan ini diproduksi dimana-mana.
Dalam menuliskan ini, saya juga menjadi ingat ada grup Orkes melayu Pancaran Sinar Petromak (OM PSP) yang berjaya di akhir paruh dekade 70-an. Terutama lagu Duta Merlin. Lagu yang ringan, yang menunjukkan kesenjangan sosial dan dimulainya era kapitalisasi spasio-stemporal di Jakarta pada lokasi-lokasi tertentu di masa itu.
lha ini info yg sangat bermanfaat… jaman dulu petromax pernah dekat dng kehidupan saya sehari2… tp tidak sedikitpun saya tahu asalasul dan sejarahnya..
apalagi keajaiban kaos lampunya ituh… π
terima kasih sharingnya mas…
hwakaka… jadi inget saya jaman dulu, masbrur… kalo ada yang pake ting di kegelapan disangka sejenis setan atau dedemit… padahal nyata2nya orang mau pergi ke sungai buat buang hajat
jadi ingat pula, pas kudu mompa petro biar bisa nyala. dan sampe berkeringat hebat pula sebelum bisa melihatnya menyala
haluuu mas =)
hehehe…jadi pengin denger dongengnya langsung dari mas.. ^^
tulisan mas berbobot deh..keren!!!
wow… thanks kang..
saya jd tahu sejarah lampu petromax ini.. kmrn waktu posting tema ini, saya cuma mencoba mendiskripsikan fisiknya saja..
saya kesulitan mencari referensinya
Info yang menarik.
Masa kecilku, dusun tempat tinggalku belum ada listrik, setiap hari menggunakan lampu petromak, yang akan dimatikan jika kita mau tidur.
kalo lampu pertamax dimana gan??
wah ternyata rumit juga ya cara kerjanya. gw pikir ‘cuma’ bakar minyak doang (cem kompor dan kapilaritas).
ngomong2 gw udah samar2 dengan yg namanya petromax de.. yang di rumah dulu itu petromax bukan ya? kok kayanya ga serumit itu..
petromaxxx kan sering orang tulis pas awal komen blog π heheheheh
hehehe.. iyaa terimakasih udah mau berkunjung balik mas π
iya ni mas…. dirumah saya masih ada lampu kayak gitu…. masih sering juga dpake kl mati lampu…
hweweeee seeppp mas…
keep blogging
ditunggu kunjungannya di blog saya yahhh
cepetttt….load ny
Saya mau koleksi lampu petromax tahun 50 han sam pe yang anyar siapa yang mau nawarkan silahkan
Ga tau kenapa gw pengen komment, mungkin karena tulisanya bagus hehe, ternyata begitu ya asal usul petromax, kalau suhu yg di butuhkan utk petomax minimal & maximalnya kira2 berapa ya?
orang jerman hebat (sambil mikir nunggu ufo atau alat yg bisa mengatur grafitasi bumi ^_^ gw mikirnya kejauhan)
nice……… btw kalo pake premium ato pertamax meledak nggak ya…. serius ini nggak becanda.
baru tahu…
thanks ya atas ilmunya….
hehehe
Wahhh ini dia info bagus.. thaks sharenya. Ijin share di kaskus yah tuan
keren banget sejarahnya, saya baru tau kalo yang mirip bohlam di petromax itu sejenis campuran logam, saya kira dulu itu kaya bahan kain biasa.
nice info.
makasih atas infonya……….
sip gan, mantabh. salam pertamax7
terimah kasih tutorialnya,jangan lupa mampir disini motogp http://ww.unsri.ac.id/
salam maaas….
tau ga` barusan tadi sore kami bersejarah ria tentang si “DIA” , semwa saling berebut ceritain nostalgia bareng si “DIA” sampai2 ada yang ngotot ga mo kalah…tapi semwa mengakui DIA ajaib dan sangat penting tuk kehidupan kita2 kecil dulu, emak-bapak, nenek, buyut….. bahkan ada yang mo beli lagi lho….
apa bedanya petromakx dangan lampu strom king? (kami nyebutnya getooo…)
terima kasih kaka infonya π
Di tempat kami disebut setrongkeng,…makasih infonya bagus sekali,…kami d Mentok Bangka..lama sekali tahun 1980an lah baru ada listrik,….tv aja dulu pake aki
Woah tak kira kaosnya cuma kain dari nilon biasa yg Tahan panas:)
aaahhh… petromax…
kangen juga sama lampu ini… apalagi kalau musim hujan, cucian ga kering… kenalah tugas mompa petromax-tutupin pakai kurungan ayam-gelar cucian di atasnya….